Pemkot Bandung Gencarkan Edukasi Perlindungan Anak

Bandung,  - Setelah berhasil memertahankan penghargaan Kota Layak Anak kategori Nindya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung kini terus berjuang merangsang kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak. Termasuk keberanian untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM), Tatang Muhtar menyatakan, keberanian untuk melaporkan ini bukan hanya membantu penuntasan masalah kekerasan terhadap anak. Namun, juga membantu pemerintah dalam menganalisa persoalan kekerasan anak di lapangan.

"Melalui kelembagaan, kita bisa kolaborasi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait pelaporan masalah anak. Kami terus berjuang menyosialisasikan agar masalah anak bisa kita deteksi dan diantisipasi agar bersama menanganinya," ucap Tatang di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Jumat (26/7/2019).

Tatang mengungkapkan, perlindungan terhadap anak ini memerlukan peran dari banyak pihak. Utamanya, pihak yang bersentuhan langsung dengan anak seperti di rumah, sekolah ataupun lingkungan sekitar lainnya yang menjadi tempat beraktivitas anak.

"Tantangannya, perlakuan terhadap perlindungan anak tidak bisa dilakukan pemerintah saja, memerlukan kolaborasi dan partisipasi semua kalangan masyarakat di berbagai tingkatan," ujarnya.

Di tahun 2019 ini kesadaran masyarakat Kota Bandung untuk berani melaporkan kekerasan terhadap anak cenderung meningkat. Hal itu terdeteksi dari jumlah laporan korban kekerasan anak yang sampai Juli ini sudah terdata 104 kasus.

Sementara itu, Plt Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bandung, Mitha Rovianti menyatakan sepanjang 2018 lalu tercatat 119 kasus kekerasan terhadap anak.

"Alhamdulillh kesadaran masyarakat cukup tinggi dengan upaya sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak. Jadi masyarakat tau kekerasan kepada anak seperti apa aja dan kemana harus mengadu," kata Mitha.

Mitha menuturkan sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang terdekatnya. Baik dari internal keluarga, sekolah ataupun lingkungan tempat bermainnya.

Masih menurut Mitha, DP3APM akan selalu berjuang untuk mendampingi kasus kekerasan terhadap anak sampai tuntas. Bukan hanya sebatas menyelesaikan saat memasuki ranah hukum saja, namun diupayakan hingga anak kembali pada kehidupan normal.

"Di UPT P2TP2A ada 14 konselor di dalamnya itu terdiri dari psikolog 3 orang, pengacara 3 orang, pekerja sosial dan ada konselor bidang agama. Tetap nanti anaknya kita kembalikan pada keluarga, kalau tidak nyaman di keluarga inti kita titipkan di keluarga besar," terangnya.

Selain merangsang masyarakat agar lebih terbuka tentang masalah anak, DP3APM juga menyosialisasikan pola asuh. Edukasi cara memperlakukan anak ini tidak hanya kepada orang tua saja, namun juga kepada elemen masyarakat lainnya yang terlibat dalam interaksi bersama anak

Sedangkan Kepala Seksi Pemenuhan Hak Anak DP3APM, Iip Saripudin mengungkapkan pola asuh anak ikut berpengaruh dalam membentuk karakter anak. Untuk itu, perlu kecocokan pola asuh anak antara di rumah, sekolah ataupun di tempat publik.

"Di rumah itu parenting harus prepentif. Kalau anak sekolah, orang tuanya juga harus sekolah. Kedua di sekolah pada gurunya jangan sampai ada aturan yang tidak rasional atau berpengaruh ke psikologis anak. Ketiga di ruang publik itu di aparat kewilayahan juga harus tahu bagaimana memperlakukan anak," kata Iip.
Red

Posting Komentar

0 Komentar